Sabtu, 02 Juni 2012

sejarah kutho suroboyo

Jika sempat mampir di kompleks makam Sentono Botoputih, sebelah timur Kampung Ampel, Makam Mbah Brondong menjadi sumbu spiritual para peziarah. Dialah Bupati Surabaya pertama atau menurut catatan sejarah
Belanda jabatan tradisional itu disebut Kanjeng Adipati. Puluhan nisan di pesarean Sentono Botoputih itu adalah adipati Surabaya dan keturunannya yang bergelar Raden Panji. Namun di Jalan Bibis sebelah utara Indo Plaza juga ada kompleks makam lawas yang diyakini juga pesarean trahadipati Surabaya. Kali ini mari mendalami catatan sejarah Surabaya. Beberapa penulis Barat menyebut penguasa Surabaya dengan “The King of Surabaya”. Tetapi apakah struktur pemerintahan kadipaten dengan kerajaan itu hanya sekadar penyebutan untuk objek yang sama. Atau sebelum kadipaten, Surabaya pernah berdiri kerajaan, namun luput dalam catatan sejarah? Mari dicari sama-sama. Faktanya, dalam semua manuskrip tentang Surabaya tidak pernah tercatat nama raja, tidak ditemukan petilasan makam raja Surabaya kecuali makam adipati. Tidak ada seorang pun dari kepala pemerintahan yang bergelar sultan walau semuanya berpenduduk muslim. Bahkan dongeng rakyat Surabaya juga berkutat pada sosok adipati. Namun faktanya, saat ini jejak Surabaya sebagai sebuah pemerintahan kerajaan masih mudah ditemukan. Jika anda berjalan menyusuri Jalan Kramat Gantung, di sebelah barat jalan ini Anda akan menemukan secuil kampung dengan nama Kraton. Saya yakin nama kampung ini bukan asal comot untuk gagah-gagahan. Di sekitarnya terdapat kampung yang berbau laiknya struktur kerajaan. Ada nama Kranggan, Praban, Carikan, Kepatihan, Tumengungan, dan lain sebagainya. Terdapat Jalan Kebonrojo alias kebun raja yang ada di selatan kantor Pos Besar sekarang. Penamaan kampung itu mirip dengan nama kampung di dalam benteng Keraton Jogjakarta. “Sekitar tahun 1950-an saya sering melihat orang menemuka ornamen struktur batu bata seperti candi setiap ada orang membongkar rumah di kawasan ini”, jelas A Hong, warga Kramat Gantung. Benarkan kerajaan itu pernah lahir di Surabaya? Dalam sejumlah diskusi ilmiah masih menjadi perdebatan. Namun wacana itu harus diketahui, sejumlah catatan yang saya temukan          menyebutkan, kerajaan kecil Surabaya itu diyakini sudah ada sekitar 1365, ini seperti yang ditulis Empu Prapanca. Saya menemukan terjemahan karya Empu Prapanca di Museum Nasional beberapa waktu lalu. Kerajaan Surabaya juga mencatat cerita justru dalam manuskrip kerajaan lain. Di antaranya riuh rendah perlawanan kerajaan Surabaya dengan kerajaan Mataram.

***
Sastrawan Surakarta, Ki Padmosusastro 1902, mencatat penggal kisah kerajaan kecil di sudut Bang Wetan (Jawa Timur) ini dalam Kitab 'Sedjarah Dalem' yang saya baca beberapa waktu lalu. Setidaknya bisa menambah
refrensi. Kerajaan Surabaya diperkirakan lahir 1365, jauh lebih tua dibanding Mataram yang lahir pada 1577. Namun kerajaan Surabaya secara resmi bubar setelah kekuasaan jajahan Mataram di Bang Wetan beralih' ke kompeni 1755. Akhir kerajaan Surabaya, tidak lepas dari pengaruh Mataram. Namun kekuasaan Surabaya
baru benar-benar hilang ketika penguasa Hindia Belanda Van Imhoff, berkunjung ke Surabaya pada 11 April 1746. Diperkirakan kerajaan ini berdiri selama tidak kurang dari 375 tahun. Digambarkan, Pengaruh Kerajaan Surabaya meliputi Bang Wetan, Kalimatan Selatan, Kalimatan Timur, Pulau Sulawesi bagian tengah hingga selatan dan sebagian kepulauan Maluku bagian selatan. Surabaya adalah kerajaan niaga terakhir
yang memiliki hubungan dengan Portugis, Belanda, Inggris, dan Tiongkok. Menurut Padmosusastro, tidak
tercatatnya nama raja-raja Surabaya karena minimnya sastra tulis, seperti lazimnya kerjaaan di pedalaman Jawa. Namun penguasa Surabaya yang paling terkenal adalah raja abad 17 karena keberaniaanya menolak hegemoni tiga raja Mataram. Catatan Padmosusastro menyebut nama Raja Surabaya itu adalah Jayalengkara. Putra raja ini lebih tersohor, yaitu Pangeran Pekik. “Pengeran Pekik sempat menggantikan ayahnya menjadi Raja Surabaya. Dia menikahi Adik Mas Rangsang alias Sultan Agung Hanyokrokusumo yang bernama Ratu Mas Pandan atau Ratu Pandansari,” begitu tulis Padmosusastro dalam bahasa Jawa di kitabnya. Dijelaskannya, sejak Panembahan Senopati Ingalaga alias Sutawijaya memimpin Mataram Islam 1577, dia telah melihat potensi Surabaya yang sulit ditundukkan. Padahal Senopati bermimpi bahwa Mataram mewarisi tradisi Pajang yang berarti berkewajiban melanjutkan tradisi penguasaan atas seluruh tanah Jawa. Namun faktanya, Surabaya menjadi slilit bagi pimpi Senopati itu. Catatan Antropolog zaman Belanda, Dr de Graaf, menjelaskan Senopati (1586 - 1601) yang bernafsu menguasai Surabaya tidak terlaksana hingga akhir kekuasaannya. Penggantinya, Mas Jolang atau Panembahan Seda ing Krapyak (1550-1613) juga gagal mewujudkan keinginan ayahnya menyatukan Jawa karena ganjalan Surabaya. Setiap raja Mataram selalu mencoba menyerang Surabaya namun selalu mental. Hingga Raja Mataram ketiga, Sultan Agung (1613-1645), yang berkeinginan mewujudkan mimpi buyutnya. Namun kekuatan militer Mataram tidak pernah benar-benar bisa menyeberang sungai Brantas. Di dalam catatan yang saya temukan, Surabaya tidak hanya bertahan. Kerajaan ini sempat dua kali menyerang pusat kerjaaan Mataram di Kotagede selatan Jogjakarta. Yaitu pada 1614-1616. Namun dua kali pula serangan balasan ini juga kandas.
***
Kisah dalam catatan Padmosusastro, menjelaskan konflik terbuka pertama antara Surabaya-Mataram terjadi 1614 sebelaum balasan pertama Surabaya. Mataram melakukan pendekatan militar dengan mengepung wilayah Surabaya di Kalimantan, Sukadana, dan bisa direbut Mataram pada 1622. Serangan Mataram ini dipimpin 'Bataliyon' Adipati Kendal, Baureksom, dengan kekuatan 70 kapal dan 2000 prajurit. Serangan Ekonomi ditabuh Mataram karena Surabaya dikenal sebagai kerjaan dagang. Panen bahan makanan mentah dari pegunungan jatuh ke tangan Mataram dengan mengadang rute kiriman bahan mentah menuju Surabaya. Dikisahkan tidak hanya lumpuhnya perdagangan bahan makanan, Surabaya bahkan kekurangan makanan. Mataram juga mengepung laut Jawa. Mataram menawarkan konsesi politik kepada Belanda agar sementara tidak mengirimkan kapal dagangnya ke Surabaya. Saat itulah terjadi pertempuran sengit antara Surabaya dibantu Madura dengan Mataram. Menurut Padmosusastro, inilah pertempuran terhebat dalam sejarah serangan Mataram. Di dalam pertempuran, Panglima Mataram, Sujanapura, tewas bersama Adipati Pamekasan melalui perang yang tidak dicatat lamanya. Mataram yang kewalahan kemudian mendatangkan bala bantuan 80.000 tentara dipimpin Kiai Juru Kiting yang berbuntut takluknya Madura pada 1642. Namun jantung Surabaya belum bisa ditembus. Mataram hanya sanggup menutup Selat Madura untuk mengisolir Surabaya.

Di sadur dari ''kitab dalem'' tulisan Ki Padmosusastro 1902 tentang peperangan Mataram...di situ tertulis mataram berperang melawan kerajaan Surabaya.